Legenda Rawa Pening – Rawa Pening merupakan danau yang dijadikan objek wisata air di Semarang, Jawa tengah.
Danau tersebut memiliki ukuran kurang lebih 2.670 hektar.
Danau satu ini begitu menarik karena panoramanya, apalagi legenda yang menyelimuti danau tersebut juga tak kalah menarik untuk diketahui.
Konon, diceritakan bahwa asal usul Rawa Pening terbentuk sebab adanya suatu peristiwa.
Lantas, bagaimana cerita peristiwa tersebut dapat terjadi? Berikut cerita lengkap dari legenda tersebut.
Untuk mengetahui kisah lengkap tentang cerita rakyat satu ini, Wisatawan.id akan membahas Legenda Rawa Pening dan Asal Usul Terbentuknya Danau di Semarang.
Jangan lupa untuk Like
Facebook Page Wisatawan.id
Dongeng Rakyat Terbentuknya Danau Rawa Pening Di Semarang
Alkisah, dahulu kala di suatu lembah antara dua gunung, yakni gunung Telomoyo dan Merbabu hiduplah sebuah perkampungan yang bernama desa Ngasem.
Di desa Ngasem hiduplah sepasang suami istri Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang belum dikaruniai anak.
Pada satu waktu, sang istri dengan seorang diri duduk di depan rumah sambil merenung.
Ternyata ia tengah melamunkan bagaimana jika di rumah tersebut hadir seorang anak, pasti hidup keduanya tidak akan sepi.
Mendengar itu, sang suami menghela napas panjang.
“Sudahlah, istriku. Barangkali belum saatnya Yang Maha Kuasa mempercayai kita untuk merawat seorang anak. Yang paling penting adalah kita selalu berdoa dan berusaha dengan sekuat hati.” Hibur Ki Hajar.
Sang istri mengiyakan ucapan sang suami sambil berlinang air mata.
Tidak kuasa melihat kesedihan sang istri, Ki Hajar pun memutuskan bertapa untuk meminta kepada Yang Maha Kuasa agar segera diberikan momongan.
Berbulan bulan sang istri menunggu setelah kepergian Ki Hajar untuk bertapa, sang suami tidak kunjung kembali.
Nyai Selakanta mulai resah, jikalau ada suatu hal yang terjadi kepada sang suami. Suatu ketika, ia merasa mual dan muntah muntah.
Ia menduga jika tengah hamil dan ternyata benar dugaan tersebut.
Hari berganti hari, perut Nyai Selakanta semakin besar dan ia pun akhirnya melahirkan.
Alangkah terkejutnya ia, sebab anak yang ia kandung dan lahirkan bukan manusia, melainkan sosok naga.
Ia pun memberikan nama bayi dalam wujud naga itu Baru Klinthing, yang merupakan nama tombak milik sang suami.
Dalam cerita asal usul Rawa Pening, dijelaskan bahwa kata “baru” berasal dari kata bra, keturunan Brahmana seorang resi yang memiliki kedudukan lebih tinggi dibanding pendeta.
Sementara “klinting” memiliki arti lonceng.
Yang menakjubkan, meskipun berwujud naga namun anak itu bisa berbicara layaknya manusia.
Sang ibu pun heran juga haru mengetahui hal tersebut.
Nyai Selakanta merasa sedikit kecewa, sebab ia pasti akan merasa malu jika warga desa tahu bahwa ia melahirkan anak dengan wujud naga.
Agar tidak diketahui oleh orang lain, ia pun berniat mengasingkan sang anak di bukit Tugur.
Namun, Baru Klinthing harus besar dahulu supaya bisa menempuh perjalanan jauh menuju lereng gunung Telomoyo.
Tentu saja, ia merawat Baru secara sembunyi sembunyi, agar tidak diketahui oleh warga.
Seiring berjalannya waktu, anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda dalam wujud seekor naga.
Suatu waktu, ia memutuskan bertanya kepada sang ibu. “Ibunda, apakah aku memiliki seorang ayah?” Tanya Baru Klinthing dengan begitu polos.
Mendengar pertanyaan sang anak yang begitu polos, Nyai Selakanta menjadi kaget.
Ia tidak menyangka jika sang putra menanyakan pertanyaan seperti itu.
Tetapi disisi lain, ia juga sadar bahwa sudah waktunya anak itu untuk tahu siapa gerangan sosok sang ayah.
“Tentu saja anakku. Ayahandamu bernama Ki Hajar. Namun, ia saat ini tengah bertapa di tempat yang amat jauh yakni lereng gunung Telomoyo” Ujar sang ibu dengan nada kesedihan di dalamnya.
“Pergilah dan temui dia. Katakan pada ayahmu kalau kau adalah anaknya” tambah sang ibu.
Di dalam legenda Rawa Pening, dikisahkan Baru Klinthing nampak sedih sebab ia tidak yakin bahwa sang ayah akan percaya.
Sang ibu pun meyakinkan dia serta membekali Baru dengan pusaka tombak milik sang ayah.
“Jangan ragu anakku, percayalah. Bawalah tombak Baru Klinthing ini. Itu adalah pusaka ayahmu” Ujar sang ibu.
Setelah meminta restu dari sang ibunda, Baru Klinthing pergi mencari sang ayah.
Setelah melewati perjalanan yang cukup jauh, Baru akhirnya tiba di sebuah gua di sekitar lereng gunung.
Di gua itu ia menemukan seorang laki laki yang tengah bersemedi.
Kedatangan sosok Baru membuat laki laki pertapa itu menjadi terusik.
Sang pertapa nampak kaget saat mengetahui jika sesosok naga yang datang ke gua dapat berbicara selayaknya manusia.
Sosok tersebut yang ternyata Baru Klinthing kemudian mengenalkan diri dan menuturkan apa maksud kedatangannya.
Pertapa tersebut adalah sosok Ki Hajar yang selama ini dicari oleh Baru.
Mengetahui bahwa pertapa yang dilihatnya adalah sosok sang ayah ia kemudian langsung bersujud di depan sang ayahanda.
Kemudian ia pun menjelaskan siapa dirinya sebenarnya.
Namun, Ki Hajar nampak tidak percaya jika ia memiliki seorang anak dengan wujud naga.
Akan tetapi pada saat Baru menunjukkan pusaka tombak miliknya, dalam diri Ki Hajar sudah muncul rasa percaya.
Namun, tetap saja Ki hajar belum yakin seratus persen.
Ia kemudian memberikan tantangan kepada Baru untuk melingkari Gunung Telomoyo.
Dan sang anak pun segera menjalankan perintah ayahnya tersebut. Dengan kesaktian yang dimiliki, Baru berhasil melingkari gunung tersebut.
Dan akhirnya, sang ayah percaya bahwa Baru Klinthing adalah putranya.
Ia pun memerintahkan sang putra untuk bertapa di Bukit Tugur agar kelak wujud naga Baru berubah menjadi manusia.
Sementara itu dalam legenda Rawa Pening, juga diceritakan bahwa di sekitar gunung terdapat perkampungan bernama desa Pathok.
Desa itu amatlah makmur, namun penduduknya sangat sombong.
Suatu waktu, warga desa ini akan melaksanakan bersih desa sebuah pesta untuk sedekah kepada bumi setelah masa panen.
Di pesta akan ada banyak yang dihidangkan untuk menjamu warga dan para undangan.
Oleh karena itu, mereka ramai ramai berburu di Bukit Tugur.
Hampir satu hari penuh warga berburu, akan tetapi belum ada satu pun binatang yang didapatkan.
Kemudian saat kembali ke perkampungan, mereka melihat naga yang tengah bertapa.
Seperti yang dikisahkan dalam legenda Rawa pening, naga tersebut ialah sosok Baru Klinthing.
Dengan gembira, warga lantas dengan ramai ramai menangkap serta memotong motong daging naga dan membawanya pulang.
Daging tersebut kemudian di masak untuk jamuan pesta.
Saat warga tengah asyik berpesta pora, kemudian datanglah seorang anak laki laki dengan tubuh penuh luka yang berbau begitu amis.
Ternyata, anak laki laki tersebut adalah sosok dari Baru Klinthing.
Karena rasa lapar, Baru Klinthing lantas ikut bergabung dalam keramaian ingin menikmati sajian.
Akan tetapi saat meminta makan pada warga, jangankan diberi makan ia malah dimaki maki, bahkan ia juga diusir.
Dengan perut keroncongan dan jalan yang sempoyongan, ia pergi dari desa.
Kemudian saat di tengah perjalanan ia bertemu dengan Nyi Latung seorang janda tua.
Melihat seorang anak dengan tubuh penuh luka dan jalan yang sempoyongan, membuat wanita tua itu iba.
Wanita tersebut kemudian menghampiri Baru Klinthing, dan bertanya ada apa gerangan hingga anak tersebut nampak merana.
Baru Klinthing kemudian menceritakan kisah sedihnya yang diusir oleh warga desa Pathok.
Nyai Latung yang baik hati kemudian membawa Baru ke rumahnya dan memberikan makan.
Baru Klinthing kemudian mengucapkan rasa terima kasihnya, ia pun juga tidak menyangka masih ada orang baik di desa itu.
Ia akhirnya bertekat untuk memberikan pelajaran kepada warga desa Pathok karena perangai angkuh mereka.
Sesuai dalam kisah yang dikenal masyarakat sebagai Legenda rawa Pening, ia tidak lupa memberikan pesan kepada janda tua itu untuk menyiapkan lesung kayu saat nanti terdengar suara gemuruh.
Setelah itu, Baru Klinthing lantas kembali mendatangi desa Pathok dengan membawa sebuah lidi.
Ia kemudian menancapkan lidi itu di tanah.
Dengan lantang, ia menantang warga desa untuk mencabut lidi yang sudah ditancapkan itu.
Dengan pandangan meremehkan, warga desa mulai mencoba untuk mencabutnya.
Mulai dari anak anak hingga orang dewasa semuanya mencoba untuk mencabut lidi itu.
Akan tetapi, orang orang desa tidak ada satu pun yang berhasil.
“Ah, kalian ini semua payah. Mencabut sebuah lidi saja tidak becus” Ejek Baru Klinthing.
Karena kesaktian yang dimiliki, Baru kemudian mencabut lidi tersebut dengan sangat mudah.
Akan tetapi, sesaat lidi dicabut muncullah suara gemuruh yang menggetarkan seluruh isi desa. Tidak lama, air menyembur dari bekas tempat lidi tertancap tadi.
Ajaibnya semakin lama semburan air semakin besar, hingga muncul banjir besar.
Semua warga desa menjadi kalang kabut ingin menyelamatkan dirinya masing masing. Akan tetapi sangat disayangkan, usaha warga sudah terlambat.
Sebab, banjir telah menenggelamkan mereka.
Dengan sekejap mata, desa tersebut telah penuh dengan air dan berubah menjadi danau ataupun juga bisa disebut dengan rawa.
Dan hingga kini danau tersebut dikenal dengan nama Rawa Pening.
Sementara itu, setelah mencabut lidi Baru kemudian segera berlari menemui Nyi Latung yang sudah menunggu di atas lesung kayu yang berfungsi sebagai perahu.
Akhirnya wanita tua tersebut selamat dari banjir bandang yang terjadi di desa Pathok.
Konon dalam cerita, dikisahkan Baru Klinthing kembali berubah wujud menjadi seekor naga.
Dalam cerita asal usul Rawa Pening, diketahui bahwa Baru kembali menjadi naga karena ingin menjaga Rawa Pening.
Setelah itu, kisah anak sakti dengan wujud naga ini pun menjadi melegenda di lingkungan masyarakat danau tersebut, bahkan hingga menjadi cerita nusantara.
Demikian cerita yang melingkupi terjadinya sebuah danau di daerah Semarang yang diberi nama Rawa Pening.
Pesan Moral Yang Bisa Dipetik Oleh Kisah Ini
Dari kisah ini dapat diambil pesan moral bahwa seseorang dengan sikap angkuh, sombong, suka meremehkan orang lain, serta tidak menghargai orang lain merupakan sifat yang tidak baik.
Sementara sifat tolong menolong dan menghargai orang lain tanpa memandang, asal, ras, agama, suku, status sosial, dan kondisi fisik adalah sifat yang patut dicontoh.
Meskipun tidak diketahui kebenarannya, namun cerita legenda merupakan sebuah kisah yang begitu menarik untuk dibaca.
Apalagi dalam setiap dongeng legenda nusantara ini, di dalamnya selalu diselipkan pesan moral yang bisa membangun karakter para pembacanya.
Tidak hanya cocok dibacakan sebagai dongeng tidur untuk anak anak, dongeng juga masih layak sebagai bacaan di kala senggang.
ARTIKEL LAINNYA DI WISATAWAN.ID