Cerita Malin Kundang si anak durhaka merupakan cerita rakyat dari Sumatera Barat yang mengisahkan seorang anak dikutuk menjadi batu.
Cerita Malin Kundang adalah cerita rakyat mengenai seorang anak yang memiliki cita-cita untuk menjadi orang kaya.
Namun, ketika cita-citanya terpenuhi ia malah tidak mengakui ibunya dan terkutuk lah Malin karena telah durhaka.
Kenapa Malin bisa berubah menjadi seorang yang sombong?
Dan bagaimana perjalanan Malin bisa menjadi orang kaya?
Untuk mengetahui kisah lengkap tentang cerita rakyat satu ini, Wisatawan.id akan membahas Cerita Malin Kundang – Legenda Tentang Si Anak Durhaka.
Jangan lupa untuk Like
Facebook Page Wisatawan.id
——————–
Cerita Malin Kundang – Legenda Tentang Si Anak Durhaka
Pada zaman dahulu hidup sebuah keluarga miskin di perkampungan nelayan Pantai Air Manis.
Untuk menghidupi keluarga kecilnya sang ayah bekerja sebagai nelayan siang dan malam.
Sedangkan istrinya bernama Mande Rubayah terkadang menjajakan kue di sekitar pasar.
Mereka dikarunia seorang anak laki-laki yang penurut dan tampan, kerap dipanggil Malin oleh kedua orang tuanya.
Hari-hari ketiganya dilewati hanya dengan memakan sepiring bertiga.
Jika ada hasil tangkapan ikan yang berlebih, baru mereka menikmati santapan ikan bersama.
Suatu hari sang kepala keluarga meminta izin untuk merantau ke negeri seberang.
Ia ingin memberi kehidupan yang layak untuk anak dan istrinya.
Sepeninggal sang suami Mande Rubayah mengambil alih peran untuk mencari nafkah, demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di usia yang sudah renta, Mande Rubayah tetap menangkap ikan di pantai dan berjualan kue keliling kampung.
Segala lelah yang menghampiri tidak pernah Ia rasakan, tatkala melihat kebahagiaan anaknya selepas bekerja.
Ia selalu menangis dalam doanya kala mengingat tidak pernah ada kabar berita, semenjak ayah Malin Kundang memutuskan untuk pergi merantau.
Setiap malam Mande Rubayah selalu berdoa atas keselamatan sang suami.
Kabar dari sang ayah membuat hati pasangan ibu dan anak kerap dirundung kesedihan.
Setiap malam Malin selalu menanyakan keberadaan sang ayah kepada ibunya.
“Dimanakah Ayah sekarang Bu? Kenapa tidak kunjung pulang sejak hari itu?” begitu pertanyaan Malin setiap harinya.
Mande Rubayah hanya memberi jawaban yang sama setiap harinya “Ayahmu sedang merantau dan mencari nafkah untuk kita.”
Meskipun dibesarkan tanpa kehadiran sang ayah, tetapi Malin tetap tumbuh menjadi anak yang cerdas dan penurut.
Malin pandai bersosialisasi dan mempunyai banyak teman sebaya, sehingga Ia bisa mengakrabkan diri dengan lingkungannya.
Suatu hari Malin jatuh sakit keras sehingga nyawanya hampir melayang.
Namun sang ibu terus berusaha untuk menyembuhkan Malin sebisa mungkin.
Sakit yang diderita Malin berupa luka berbekas yang tidak bisa hilang, karena lengan kanannya terluka.
Malin sempat terantuk batu hingga terjatuh, ketika mengejar seekor ayam dengan teman-temannya.
Ibunya panik saat Malin dibawa pulang ke rumah dengan kondisi lengan yang berdarah.
Dalam cerita Malin Kundang, Mande Rubayah berusaha melakoni semua pekerjaan yang Ia bisa untuk mengobati Malin.
Setelah menjalani beberapa pengobatan kesehatan Malin berangsur membaik.
Hari berikutnya Ia sudah kembali membantu ibunya berjualan kue di pasar.
Mande Rubayah semakin menyayangi Malin dan selalu mendoakan hal terbaik untuk Malin.
Malin remaja sangat menyayangi ibunya, dan berharap bisa memberinya kehidupan yang layak suatu hari nanti.
Ketika Malin mulai menginjak dewasa kemauannya untuk mengubah nasib bertambah kuat.
Ia bertekad untuk pergi merantau dan mencari keberhasilan, harapannya agar sang ibu tidak perlu hidup miskin lagi.
Malin mencoba meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke kota.
Kebetulan beberapa hari lagi ada kapal besar yang hendak merapat di tepian Pantai Air Manis.
“Ibu tidak mengizinkan Malin, ibu takut terjadi sesuatu denganmu saat di tanah rantau. Tetaplah disini saja bersama ibu,” ucap Mande Rubayah sedih setelah mendengar permintaan sang anak.
Dalam cerita Malin Kundang, Mande Rubayah tidak menerima permintaan izin dari si Malin untuk pergi ke tanah rantau.
Sungguh Ia hanya tidak mau kehilangan Malin, suaminya sudah cukup pergi dan meninggalkan keduanya.
“Bu tenanglah tidak akan terjadi apa-apa denganku. Aku sudah dewasa dan bisa menjaga diriku dengan baik,” kata Malin terus memohon.
“Ini kesempatan Bu belum tentu esok hari ada kapal besar yang merapat di pantai ini. Izinkan aku untuk mengubah nasib kita bu,” ucap Malin sambil memegang kedua tangan ibunya.
Namun hari itu Malin tidak mendapat jawaban apapun dari sang ibu.
Hingga hari berikutnya pun tidak berhasil segala bujukan Malin.
Mande Rubayah mengamati putranya yang duduk sendirian di tepian batu besar.
Sepasang mata Malin terlihat tidak memancarkan rona bahagia.
Melihat Malin bersedih membuat hati Mande Rubayah terenyuh, dan menimbang permohonan Malin kemarin.
Sepulang Malin dari pantai Mande Rubayah ingin mengajaknya berbicara.
“Nak, ibu memberikanmu izin. Pergilah dan cepat kembali”, kata Mande Rubayah sambil menangis harus melepas Malin.
Dikisahkan dalam cerita rakyat Malin Kundang, Mande Rubayah memberi bekal Malin berupa tujuh bungkus nasi yang dibalut daun pisang.
Berbekal restu dan doa ibunya berangkatlah Malin menuju tanah rantau.
Ia meninggalkan ibunya di kampung sambil membawa janji untuk lekas kembali.
Selepas kepergian Malin, Mande Rubayah belum mendapatkan kabar apapun dari kota.
Setiap ada kapal yang merapat ke pantai, Mande Rubayah selalu menanyakan kabar Malin kapada awak kapal.
Tapi Ia tidak sekalipun mendapatkan jawaban, Malin tidak pernah menitipkan pesan atau barang untuk ibunya.
Beberapa tahun kemudian Mande Rubayah menelan kerinduan sendiri.
Tubuhnya sudah tua bahkan jalannya mulai terbungkuk-bungkuk.
Suatu hari penantiannya membuahkan hasil, kapal besar yang akan merapat kabarnya milik si Malin.
Betapa bahagianya Mande Rubayah mendengar kedatangan Malin, putra kesayangannya telah kembali.
“Mande ku dengar anakmu sudah kaya raya, bahkan Ia sudah menikah. Istrinya sangat cantik sekali, putri seorang bangsawan kaya,” ucap tetangganya saat itu.
Mande Rubayah tidak peduli seberapa kaya Malin sekarang, Ia hanya ingin melihat wajah putranya yang sudah pulang.
Di suatu hari yang cerah, saat matahari bersinar diatas kepala.
Ada sebuah kapal besar dan megah yang merapat di perairan Pantai Air Manis.
Orang kampung ramai berkumpul disekitarnya, mereka mengira yang datang adalah seorang Sultan atau saudagar kaya.
Semua warga menyambut kedatangannya dengan gembira, termasuk Mande Rubayah setelah mendengar berita bahagia dari tetangganya.
Namun semenjak kapal tersebut merapat, Malin tidak sekalipun pergi menjenguk ibunya.
Padahal para awak kapal tinggal di kampungnya berarti Malin pun masih di desa ini.
Hingga ketika ada kapal besar merapat, Mande Rubayah ikut berdesakan untuk mendekati kapal.
Ia melihat pasangan muda yang berdiri di anjungan.
Pakaian mereka tampak indah berkilau karena sinar matahari.
Senyum keduanya merekah cerah seolah memancarkan rasa cinta yang membuncah.
Mande Rubayah mengenali rupa pemuda itu, Ia yakin sekali bahwa lelaki tersebut putranya.
Belum sempat para sesepuh kampung menyambut, Mande Rubayah terlebih dahulu menghampiri Malin.
Ia langsung memeluk erat si Malin menyalurkan segala kerinduan setelah lama tidak bertemu.
“Malin, anakku. Benarkah ini kau nak? Mengapa bertahun-tahun tidak memberi kabar?” tanya Mande Rubayah sambil menahan isak tangis.
Malin terkejut karena tiba-tiba dipeluk seorang wanita tua, dengan pakaian yang compang-camping.
Ia tidak percaya bahwa wanita yang memeluknya adalah ibu kandungnya.
Sebelum Malin sempat menjawab, istri cantiknya berkata dengan kasar dan menghina Mande Rubayah.
“Benarkah wanita jelek ini ibumu? Apakah kau berbohong padaku?” ucap sang istri.
“Bukankah kau dulu berkata pada ayahku bahwa ibumu adalah seorang bangsawan?”
Mendapat rentetan pertanyaan dari sang istri, membuat Malin tidak bisa berkata apapun.
Demi menyelamatkan harga diri yang Ia bangun di depan keluarga istrinya.
Malin mendorong sang ibu hingga jatuh tersungkur di tanah.
“Dasar wanita gila! Aku tidak punya ibu sepertimu!”, serunya marah dengan mata berapi-api.
Malin tidak bisa membiarkan siapa pun masuk dalam hidupnya yang baru.
Ia sudah berjuang keras untuk mendapatkan semua ini.
Mande Rubayah tidak percaya dengan perbuatan putranya, yang Ia kenal adalah Malin yang penuh kasih sayang.
“Nak, tidakkah kau ingat aku ibumu? Aku yang membesarkanmu Nak. Mengapa kau berubah seperti ini?!”
Malin seakan menutup mata dan telinga Ia tidak mempedulikan apapun perkataan sang ibu.
Sampai kapanpun Ia tidak sudi mengakui wanita itu sebagai ibunya.
Tanpa belas kasihan Malin kembali menendang ibunya hingga terjungkal.
Orang-orang sekitar melihatnya penuh iba namun tidak berani bertindak apapun.
Malin dan istri beserta kemegahan kapal pergi meninggalkan sang ibu yang pingsan di tepi pantai.
Ketika Mande Rubayah bangun dilihatnya kapal Malin semakin menjauh.
Ia tidak menyangka harta bisa merubah anaknya menjadi tidak punya nurani.
Hatinya sakit lalu Ia berdoa dengan tangisan pilu, sambil tangannya menengadah ke langit.
“Ya Tuhan, jika Ia bukan anakku maka aku maafkan perbuatannya. Jika Ia benar anakku maka aku mohon keadilanmu.”
Tidak lama kemudian langit berubah menjadi gelap, hujan turun dengan sangat lebat.
Ombak lautan yang semula tenang bergulung-gulung seolah tampak marah.
Hingga ada badai besar yang menghantam kapal milik Malin, disusul petir yang menggelegar.
Hantaman ombak menghacurkan kapal kemudian terbawa ke pantai.
Esok harinya lautan kembali tenang, cuaca di pantai menampakkan cerianya.
Kepingan kapal tersebut berubah menjadi batu.
Tidak jauh dari sana ada sebuah bongkahan batu yang menyerupai tubuh manusia.
Konon ceritanya itu adalah tubuh si Malin yang dikutuk menjadi batu oleh ibunya.
Dan disela batuan berenang ikan belanak yang katanya serpihan tubuh istri Malin.
Sesekali terdengar jeritan manusia “Ampun Bu… Ampunn!” seperti suara Malin yang sedang meratapi nasibnya.
Pesan Moral Yang Bisa Dipetik Oleh Kisah Ini
Cerita rakyat asal Sumatera Barat ini memberi banyak pesan untuk pembacanya.
Kasih ibu akan berlangsung sepanjang masa, sedangkan kasih anak hanya sepanjang galah.
Ibu telah berjuang melahirkan anaknya ke dunia.
Ia rela menukarkan apapun asalkan sang anak bahagia, jika perlu nyawa akan Ia beri.
Sebagai anak patutnya menghormati ibu bagaimanapun keadaannya.
Jangan pernah lupa bahwa dibalik suksesmu ada doa ibu yang tidak pernah putus.
Cerita legenda selalu berhasil merebut perhatian masyarakat secara turun-temurun.
Biasanya mengangkat cerita di suatu perdesaan dan menyelipkan pesan moril di dalamnya.
Sehingga kapanpun cerita ini didongengkan pesannya pasti tersampaikan dengan baik.
Sepertik kisah si Anak Durhaka yang legendaris ini, bisa menjadi serial bacaan untuk anak-anak.
Ia akan belajar bahwa berkata kasar kepada si ibu bukanlah perbuatan yang baik.
ARTIKEL LAINNYA DI WISATAWAN.ID